Monday, February 25, 2008

Dengan segala kerendahan hati, saya menghaturkan maaf setulus-tulusnya kepada yang singgah ke blog ini.

Sudah beberapa waktu lalu, saya 'berpaling' ke : http://sebelas4.multiply.com
Di sanalah rumah singgah saya yang memuat tulisan-tulisan terbaru.

Mohon kiranya saudara/i sudi mampir dan menjenguk saya di sana.

Semoga bertemanan dan persaudara tetap terbina, terjalin dan mempesona. Hehehehe....

Thursday, September 06, 2007

Marhaban ya Ramadhan

Beberapa hari lalu, seorang teman lama menyapa di YM. Katanya "Apa persiapan kamu menjelang Ramadhan?" Gelagapan saya menjawabnya. Ramadhan bulan yang indah, agung dan penuh berkah, emang layak disambut. Penyambutan kedatangan Ramadhan harusnya lebih meriah daripada menyambut kedatangan tamu di rumah, misalnya. Tapi, ini sudah seminggu menjelang Ramadhan. Kenapa saya belum persiapan apa-apa ya?

Apa sih sebetulnya yang perlu dipersiapkan menyambut Ramadhan? Pastinya, hati yang paling penting. Rasa gembira karena Ramadhan segera tiba, bagi saya sudah cukup. Tapi.. wait.. wait.... bentar.....

Saya beli magic jar beberapa minggu lalu... ya.... itu persiapan menjelang Ramadhan khan? Tapi, kok cuma itu saja? Apalagi ya?

Tadi pagi saat berangkat ke kantor, saya mendengar radio, ada sebuah dialog yang ujug-ujug, tiba-tiba dan sekonyong-konyong, membuka mata hati dan pikiran saya. Di radio itu (i-Radio, kalau engga salah) digambarkan tentang seorang pria yang membeli baju koko dan peci baru, juga beli sajadah serta sarung baru untuk menyambut Ramadhan. "Ah, percuma saja kalau sholat masih bolong-bolong," komentar seorang wanita dalam dialog itu.

Dialog itu benar-benar menjadi inspirasi bagi saya. Sarung, peci, baju dan sajadah yang baik bisa menjadi pemicu agar kita lebih menghargai ibadah kita. Selanjutnya, diharapkan ibadah lebih banyak, lebih sempurna. Ibaratnya, kalau kita berangkat ke kantor dengan pakaian yang baik, secara tidak langsung ada tuntutan dari diri kita untuk melakukan pekerjaan dengan baik pula. Makanya banyak kantor yang mewajibkan karyawannya pakai dasi, dan busana rapih formal lainnya.

Jadi, saat pulang kantor nanti, saya akan bongkar lemari. Cari baju-baju yang baik untuk sholat taraweh. Cari sarung yang baik, sajadah yang bagus dan dicuci lagi pakai pewangi supaya pas sujud tercium bau wangi.... bau surga.... semoga ibadahnya khusuk. Amin.

Marhaban ya Ramadhan.....

Tuesday, August 28, 2007

Raisah Ali vs Fathya Zana

Raisah Ali diculik, dan berhasil dibebaskan lagi setelah 9 hari terpisah dari orang tuanya. Selain para penculik, pastinya semua pihak menyambut gembira. Raisah terlihat gembira sudah bisa berkumpul lagi di rumahnya. Orang tuanya, apalagi. Sanak famili, yang dekat dan jauh, bahkan yang gak kenalpun, ikut gembira. Satu hal yang saya khawatirkan adalah trauma pasca penculikan.

Alhamdulillah, dalam keluarga besar saya, belum ada kisah penculikan. Insya Allah, jangan sampai terjadi. Tetapi kekhawatiran terhadap penculikan, pernah dialami beberapa tahun lalu. Waktu itu, keponakan saya Fathya, masih SD kelas 1. Rumahnya di Pondok Kelapa, Kali Malang, Jakarta Timur. Sekolahnya di Jl. Raya Inspeksi Kali Malang, tidak jauh dari Rumah Sakit Harum. Biasanya, jam 1 siang Fathya sudah sampai di rumah, diantar oleh mobil antar jemput yang dikelola oleh sekolahan. Tapi hari itu, sudah jam 2, Fathya masih belum kelihatan batang hidungnya (halah!). Tuminah yang bekerja di rumah, segera menelepon Mama Fathya, Rika. Adik saya ini menghubungi pihak sekolah dan dijawab sudah pulang. Al hasil, panik binti heboh. Fathya kemana?

Rika dan Budi, suaminya, segera pulang ke rumah. Para tetangga juga sudah mulai tau dan ikut memenuhi rumah mungil itu. Tidak ada yang tau dan melihat Fathya siang itu. Kepanikan bertambah karena banyak tetangga yang hanya berspekulasi "jangan-jangan begini...... jangan-jangan begitu.....". Sama sekali tidak membantu. Dering telepon selalu disambut dengan kecemasan luar biasa. Tapi ternyata bukan berita luar biasa.

Strategi mulai disusun. Diatur siapa yang akan menyusur jalan, semacam napak tilas, mencari Fathya. Ditunjuk pula siapa yang harus mencari ke rumah sakit, siapa tau terjadi sesuatu pada diri Fathya. Tugas untuk lapor ke polisi juga sudah ditentukan. Tapi tiba-tiba, di luar rumah mendadak ada keramaian. Fathya pulang!

Awalnya wajah Fathya bengong melihat rumahnya ramai dan kedatangannya disambut oleh banyak orang. Kemudian, Fathya menangis karena dipeluk oleh mamanya yang juga berurai air mata sambil mencium-cium dirinya. Fathya bertanya,"Mama kenapa.... Mama kenapa?"

Singkat cerita, malam itu rumah Fathya terasa sekali kegembiraannya. Syukur telah dipanjatkan kepada Allah SWT. Hati pun sudah mulai tenang. Canda dan tawa sudah memenuhi ruangan. Lalu mulailah Fathya ditanya, mengapa dia memilih berjalan kaki pulang sekolah di siang yang panas itu, harus menyeberang jalan raya ramai sebanyak 3 kali dan menempuh waktu perjalanan 2 jam. Tanpa beban, Fathya bercerita apa adanya. Polos, lugu dan berani. Ya, Fathya adalah anak pemberani.

Sampai sekarangpun, Fathya masih menunjukkan keberanian itu. Mungkin wajar-wajar saja bagi orang lain, tapi menurut saya inilah keberanian yang ditunjukkan oleh anak SMP kelas 1. Jadi, ketika diterima di SMP Negeri 2 Tangerang, Fathya meminta agar diijinkan untuk menggunakan angkot saja menuju sekolah. Mama Fathya bilang, nanti saja kalau sudah kelas 2 dan sudah punya banyak teman-teman yang bisa bareng. Tapi Fathya tetap minta naik angkot saja. Sementara itu, saya sudah mulai tanya-tanya siapa yang mau jadi supir untuk antar jemput Fathya sekolah. Tapi Fathya tidak menunjukkan rasa senang untuk menggunakan mobil pribadi ke sekolah, dibandingkan dengan 2 kali naik turun angkot menuju sekolahnya.

"Fathya gak takut?" tanya saya suatu hari.
"Nggak," jawabnya mantap.

Fathya memang pemberani. Atau saya yang penakut?

Tuesday, July 24, 2007

Doa Pengemis Tua untuk Saya

Makan siang hari ini saya pergi ke Hero Permata Hijau, sekalian mau transfer uang. Cukup lama antri di ATM, karena ada 2 orang anak muda sedang belajar menggunakan ATM agaknya. Baru melek bank, kata saya dalam hati.

Selesai dari ATM, saya menuju tempat makan favorit saya di sana. Nasi Rawon. Entah kenapa, setiap ke Hero Permata Hijau, pilihan menu saya selalu itu-itu saja. Tidak pernah berpikir untuk mencoba menu lain. Padahal pilihan makanan di sana banyak banget. Saya pun tidak tau, apakah nasi rawon di sana enak, istimewa atau biasa-biasa saja. Tapi saya suka saja, nasi rawon lengkap dengan sambel dan toge, telur asin plus kerupuk udang. Itulah menu makan siang saya hari ini.

Sambil menunggu pesanan datang, seorang bapak tua menghampiri saya. Bajunya lusuh, kulitnya keriput, kusam. Giginya... wrrrrr..... gitu deh!!! Bapak tua itu seorang pengemis, dia menadahkan tangan ke arah saya. Sejenak saya berpikir bahwa saya sudah lama tidak bersedekah. Lalu saya mengambil selembar uang dari dompet dan menyerahkannya ke bapak tua itu. Sayup-sayup terdengar si bapak itu memanjatkan doa. Tidak hanya berterima kasih, tapi dia berdoa untuk saya, untuk ayah ibu saya, anak dan istri saya (iya... betul), juga untuk pekerjaan saya. Cukup panjang doanya, sampai-sampai saya meng-amin-kan 2 kali. Ketika menu pilihan saya datang, si bapak tua itu mendoakan makanan dan kesehatan saya. Saya berkata"Amin" sekali lagi dan si bapak itu melangkah menjauh.

Siang tadi, tidak ada pengamen di lingkungan Hero Permata Hijau. Saya lupa, apakah emang tidak boleh dan tidak ada, atau emang tumben hari ini tidak ada. Tapi, dibanding dengan pengamen yang suaranya engga enak, lagunya engga jelas, sejujurnya saya lebih senang didoakan oleh si bapak tua tadi. Sempat juga berpikir "Jangan-jangan doa hapalan dan dibacakan untuk semua orang," tapi buru-buru saya buang prasangka itu. Saya hanya berharap semoga pak tua itu tulus dan ikhlas mendoakan saya. Semoga sedikit sedekah dari saya bisa mendapatkan banyak manfaat buat si bapak tua itu. Amin.

Thursday, July 19, 2007

Aku, Mas Narto dan Para Dosen

Hari ini, Kamis 19 Juli 2007, adalah hari yang bikin hati saya tak menentu. Sejak seminggu yang lalu, saya sudah merencanakan untuk hadir ke Undangan dari Rektor Universitas Indonesia, mengikuti acara promosi gelar Doktor Ilmu Komunikasi untuk rekan kuliah saya dulu, Sunarto. Tapi mendadak, saya harus melakukan presentasi siang ini. Harapan untuk memberi dukungan kepada Mas Narto serta kesempatan bertemu teman-teman kuliah dulu mendadak harus batal. Padahal, acara itu juga dihadiri oleh dosen-dosen saya dulu.

Terbayang satu persatu wajah para dosen itu. Ada Bu Evi yang ketua jurusan, Bu Ai yang suaranya empuk banget kalo ngajar, ada Bu Herri yang membimbing skripsi saya. Lalu ada Mas Tandyo dan Mas Hardjo yang sempat saya antar jalan-jalan ke Maninjau dan Bukittinggi. Rasanya masih kemaren sore mereka berkata "Paradise Rinto... Paradise," sambil mengagumi alam di kampung halaman saya.

Selain nama-nama di atas, tentu saja masih banyak nama-nama dan wajah dosen yang saya ingat. Semuanya punya kenangan khusus, pastinya. Ada Pak Yusmilarso. Dia mengusir saya dari ruang kuliah padahal saya baru datang, tapi terlambat. Dan terlambatnya lebih dari 20 menit hehehe....

Ada juga Pak Achmad Noor. Ini dosen pembimbing skripsi saya, selain Ibu Herry dan Mas Hardjo. Bapak ini baik banget, gak aneh-aneh ngobrak-abrik sripsi saya. Saya sempat datang ke rumah beliau ketika dinyatakan lulus skripsi dan membawa buah tangan sebuah kue tart coklat kalau tidak salah hehehhe....

Suntuk hati karena tidak bisa menghadiri promosi rekan saya, sedikit terobati ketika pikiran saya bernostalgia dengan pengalaman-pemangalam waktu kuliah dulu. Ada Pak Bambang Wiryawan, yang kocak dan suka ndagel alias bercerita humor dengan bahasa jawa. Orang lain tertawa dan saya hanya bisa bertanya. Ketika saya mulai paham, orang lain sudah berhenti tertawa dan saya sungkan tertawa sendirian.

Terbayang ketika dulu saya, Narto dan Utami dicalonkan oleh jurusan Ilmu Komunikasi untuk mengikuti program Mahasiswa Berprestasi. Kala itu, Pak Novel Ali meminta Narto menceritakan dalam bahasa Inggris, bagaimana carana dia pulang kampung ke Kudus. Dan hari ini, teman main saya di kampus dulu itu telah mendapatkan gelar Doktor.


Selamat Mas Narto. Mohon maaf tidak bisa hadir memenuhi undangannya. Semoga sukses terus dan maju selamanya. Amin.

Monday, July 09, 2007



Gelisah Datang Tak Diundang

Tanggal 7 Juli tahun ini, konon banyak yang bilang membawa berkah karena tanggal tersebut adalah tanggal cantik. Coba perhatikan : 07-07-07. Ya, cantik memang. Banyak sekali resepsi dan acara pada tanggal tersebut yang kebetulan jatuh di hari Sabtu. Saya, alhamdulillah, juga 'kecipratan' menjadi MC di salah satu acara pernikahan di gedung pertemuan di bilangan Jakarta Selatan.

Tetapi, pada tanggal 07-07-07 itu, salah seorang kerabat saya meninggal dunia. Dini hari saya mendapat telepon dari Ibu saya, serta juga adik saya. Pagi harinya, kakak saya juga menelepon dan menanyakan apakah saya berangkat ke rumah duka. Tentu saja, karena melayat akan membawa pahala lebih besar daripada datang ke pesta. Begitu yang pernah saya dengar.

Dengan adanya kabar duka tersebut, maka segala rencana yang sudah saya susun untuk hari Sabtu itu berubah mendadak. Dari yang semula mau berangkat jam 12-an, dimajukan menjadi jam 8-an karena jam 9 saya akan dijemput oleh kakak saya. Tergopoh-gopoh saya membereskan dan mempersiapkan segala sesuatunya karena saya tidak mau ada yang tertinggal. Berangkat ke rumah duka di Kalimalang, sekaligus mempersiapkan diri menjadi MC di acara pernikahan. Ke rumah duka, saya menggunakan kemeja warna gelap. Tapi untuk acara nikahan, saya menggunakan jas hitam dan kemeja abu-abu.

Dalam perjalanan, saya teringat bahwa saya lupa membawa dasi. Ya sudahlah. Tidak selamanya orang menggunakan jas lengkap dengan dasinya. "Lagi pula, dasi juga bisa dipinjam nantinya," ujar saya dalam hati. Dari mesjid, setelah menyembahkankan jenazah, saya dan kakak serta keponakan saya makan siang di daerah Kalimalang, dan saya selanjutnya di drop di kompleks Bidakara, tempat resepsi pernikahan berlangsung.

Setelah bertemu dengan keluarga calon penganten, ramah tamah sebentar, saya menuju ruang acara untuk mengontrol segala persiapan terutama sound system. Lalu, saya menuju ruang ganti pakaian untuk bersalin, menggunakan jas hitam yang saya bawa. Astaga... !!!! Masalah muncul tanpa disangka. Bukan soal dasi yang terlupa, tapi saya salah membawa jas.

Bagi saya, ini fatal banget! Bagaimana mungkin saya menggunakan jas kedodoran ini sementara saya harus berdiri di depan semua tamu dan undangan? Kenapa bisa terjadi? Ya, tentu saja karena kecerobohan saya. Karena terburu-buru berangkat dari rumah, saya main sambar saja sebuah jas hitam yang tergantung rapi dalam bungkusnya. Padahal, jas yang seharusnya saya bawa adalah jas hitam yang memang dibuat sesuai ukuran saya (custom made). Sedangkan yang terbawa adalah jas pemberian yang tentu saja ukurannya berbeda dengan tubuh saya yang ajaib ini.

Rasanya, baru kali ini saya hilang PD karena salah kostum. Jas hitam itu sepintas mirip jas hujan di badan saya. Kacau! Sepanjang acara, saya sibuk mengatur posisi berdiri agar jas kedodoran itu masih tampak baik dan elok dipandang mata. Gelisah benar-benar datang dan tak kunjung hilang. Kalau ada yang melihat saya, saya langsung menghindari tatapan mata karena takut ketahuan bahwa jas saya kedodoran.

Barangkali menjadi suatu hiburan yang sangat berarti karena hingga saya pulang tidak ada yang berkomentar tentang jas 'kebesaran' itu.

Monday, July 02, 2007

Sunat atau khitan (dan cerita dibaliknya)

Sunat atau khitan adalah kewajiban bagi pria muslim. Menjelang akil baligh, biasanya seorang anak akan menjadi tidak utuh lagi sebagai manusia karena ada bagian tubuhnya yang dibuang heheheh.....

Banyak cerita seputar sunat ini. Saya sendiri melaksanakannya ketika kelas 5 SD. Sudah lama sekali. Yang saya ingat, saya sempat berdarah-darah pulang sekolah. Seminggu setelah disunat, saya harus sekolah karena libur sudah selesai. Perban masih terpasang, tapi khan gak mungkin ke sekolah pake sarung. Alhasil, di sekolah lebih banyak diam, tidak banyak berjalan-jalan apalagi lari-larian. Pulang sekolah, tas panjang menyilang dari bahu ke arah depan, menutupi celana yang berdarah-darah itu. Kejadian berdarah inilah yang membuka pikiran dan ingatan saya bahwa jenis darah saya termasuk yang sulit kering jika terjadi luka.

Hal lain yang saya ingat adalah bahwa setelah sunat, saya boleh belajar mengendarai sepeda motor.

Cerita seputar sunat dan berdarah-darah (kok horor ya? hehehe...) saya ingat salah seorang teman saya di kantor yang lama. Sebut saja Maya namanya. Anaknya hendak disunat dan Maya berpikir pastinya suaminya, Ahmad, akan ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter sunat itu. Tapi, ternyata Ahmad gak ikutan masuk. Alasannya,"Gak kuat liat darah." Akhirnya, Maya masuk menemani sang anak yang hendak menuju perubahan status, dari bocah pria menjadi pria remaja. Ketika dokter mulai bekerja, suntik bius lokal selesai, lalu mulai memegang gunting. Kresss...... Tiba-tiba Maya sempoyongan, tidak kuat melihat 'derita' yang terjadi pada buah hatinya. Maya semaput. Suster dan asisten dokter di ruang praktek itu panik. Terjadi kehebohan sesaat. Ahmad, sang suami yang berada di luar tentu saja kalut dan buru-buru masuk. Dia melihat kenyataan istrinya terkapar, pingsan dan anaknya telentang dengan bagian tubuhnya tersayat...... Ahmad pun ikut istrinya. Terpakar, pingsan.

Sejenak terjadi hingar bingar di ruang praktek dokter sunat itu. 2 orang pingsan dan digotong ke luar. Sementara itu, si bocah yang disunat menangis-nangis di dalam. Al hasil, menurut cerita Maya dan Ahmad, banyak anak-anak yang akan disunat membatalkan diri untuk disunat hari itu. Entah ganti jadwal ke hari lain, entah ganti ke tahun depan, entah ganti dokter.... entahlah.

Cerita lain, waktu saya KKN di Desa Kerep, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Seorang pemuda dewasa menjadi bahan tertawaan di kampungnya karena dia adalah satu-satunya pria dewasa yang ikutan program sunatan masal di desa itu. Apa pasal? Dia bukan mualaf, tapi kenapa ikutan berbaris diantara anak-anak kecil lainnya? Rasanya hanya dia yang diwajibkan untuk bercukur sebelum bersunat. Sambil tersenyum malu, dia menjelaskan bahwa waktu masih bocah dulu, dia sudah disunat. "Tapi kulup lagi", katanya. Jadi dia kurang puas dengan hasil yang ada sekarang. Dia merasa sunat yang dahulu masih kurang sempurna, sehingga dia ingin kali ini 'dipotong dan dirapihkan'. Ada-ada saja :)